Tidak sedikit yang berada dalam keluarga dimana posisinya selalu menjadi pelampiasan emosi. Apalagi jika memang lahirnya anak ada kaitannya dengan masalah yang sedang terjadi, sampai kapan pun akan diingat sebagai sesuatu yang berkaitan. Ada gesekan sedikit saja berakibat kemana-mana bahkan tidak jarang anak jadi sasaran empuknya.
Lahir dari Keluarga Temperamental Tinggi
Padahal, anak lahir tidak pernah meminta pada kita. Bahkan seringkali terdengar celoteh anak-anak muda di dunia maya kalau mereka tidak minta untuk dilahirkan karena melihat kondisi orang tuanya yang tidak layak dianggap pasangan dewasa, misalnya. Kematangan emosi pasangan menjadi hal penting untuk dibentuk sebelum pernikahan terjadi. Sayangnya banyak yang tidak menyadarinya. Tak sedikit juga pernikahan menjadi jawaban karena tidak sanggup melihat orang tua bertengkar terus, misalnya.
Lari dari masalah dan membuat masalah baru sepertinya cocok untuk yang menjadikan pernikahan sebagai pelarian. Sakral-nya pernikahan bukan untuk dijadikan tempat berlindung dari tidak nyaman-nya kehidupan bersama orang tua. Saya pun salah satu yang nyaris terjerumus pada situasi seperti itu. Untungnya diselamatkan dengan pergaulan teman-teman yang jauh lebih dewasa dalam berpikir dan bertindak hingga saya pun sedikit banyaknya terpengaruh. Padahal sikap saya yang mudah marah, ngambek, tidak enak hati dan perasaan buruk lainnya, membuat mereka makin tertantang mendidik.
Punya Anak, Emosi Harus Bagaimana?
Dari kehidupan saya kemudian jadi tempat untuk berkaca. Jika melakukan hal yang sama dengan masa kecil dulu, maka anak-anak akan menjadi korban dan akan terus berlanjut hingga anak kita pun kelak punya anak juga. Jadinya harus ada pemahaman bahwa apa yang buruk harus dihentikan sampai diri kita dan tidak dibenarkan untuk diulangi pada anak-anak kita sendiri.
Anak tiga dengan kelakuan berbeda sesuai dengan usianya memang nyaris ingin berubah jadi singa terus setiap hari. Pikirnya kalau bisa berwajah singa terus, anak-anak akan diam dan menjadi sopan. Mimpi!
Ya, itu hanya mimpi dan tidak akan terjadi jika emosi terus saja yang keluar. Memang anak-anak mungkin bisa menuruti dan diam, tetapi sejatinya memori dan batin mereka merekam peristiwa itu. Naudzubillah min dzalik jika kemudian diteruskan ke cucu-cucu kita. Untuk itu, penting mengelola emosi agar tetap terkontrol dengan baik.
Kenali
Tidak ada yang tidak mengenal diri kita lebih dalam selain diri sendiri, bukan? Meski orang lain menganggap kita orang baik tetapi pada dasarnya ada perilaku kita yang buruk dan selalu dilakukan tanpa sepengetahuan orang lain. Jadi, kita harus mengenali diri biasanya emosi di saat sedang seperti apa misalnya.
Apakah dalam kondisi kurang tidur? Apakah dalam kondisi datang bulan? Atau lainnya. Perlu diidentifikasi sehingga ketika anak memancing emosi di saat yang kita kenal dapat terpancing emosi, maka sebaiknya menjauh atau sampaikan ke anak kalau diri kita ini sedang butuh sendiri dan sedang tidak baik-baik saja emosinya.
Normalisasi
Saya sudah coba tetapi tidak selalu berhasil karena seringkali pasangan tidak di rumah. Padahal saat kondisi yang mudah emosi, pasangan harus siap siaga menunggu dan menemani anak-anak dulu ketika sang ibu sedang menormalisasi emosinya. Maksudnya di sini, emosi tidak dihilangkan karena semua manusia punya hak akan emosi. Manusia tanpa emosi itu menyeramkan, lho!
Validasi
Tahap ini, kita bicara dari hati ke hati dengan diri sendiri. Katakan apa yang menjadikan emosi itu ada dan bagaimana jika emosi itu dilampiaskan atau memilih untuk mengontrolnya. Dialog dengan diri biasanya memberikan ketenangan dan meyakinkan diri bahwa memang perasaan marah itu wajar tetapi tidak perlu sampai mengorbankan anak.
***
Well, tidak mudah memang jika sudah berhadapan dengan dunia nyata. Namun, jika emosi tidak dikelola dengan baik pastinya akan berdampak hingga anak-anak dewasa. Tidak jauh-jauh mengambil contoh, dari saya pribadi saja. Hingga sekarang masih terus belajar untuk tidak mudah ngamuk ketika ada hal di luar ekspektasi dan logika.