Facilitating Story: Be A Facilitator, not an Interviewee

Facilitating Story: Be A Facilitator, not an Interviewee – Be a part of Bunda Sayang’s facilitators in IIP, there are many kinds of challenges that I found. Some of them are the different characteristics of audiences. I have positioned them as my tasks to be finished. But, some of them maybe forget that a facilitator is not an interviewee. Yes, I am just a common woman who be brave for doing something in my life, facilitate people to get knowledge about Bunda Sayang for one year at least. The reality, they always ask me to be perfect for answering the questions. Am I wrong if I refuse and make it as new question for them again?

Ya, lebih kurang seperti itulah yang saya rasakan ketika bergelut menjadi seorang fasilitator di IIP. Dimulai dari Matrikulasi hingga kemudian saat ini di Bunda Sayang, tingkatan perkuliahan pertama setelah lulus Matrikulasi.

Banyak hal yang membuat saya kemudian bertahan untuk mengemban amanah kembali menjadi seorang fasilitator. Alasan utama dan semoga selalu menjadi yang utama adalah ingin memupuk amal jariyah di sisa waktu hidup yang ada.

Kok amal jariyah sih? Sampai sejauh itukah? Hmm… bagi yang memahami hakikat berbagi ilmu, meringankan beban orang lain, memberikan jalan akan kebingungan orang lain bahkan bisa jadi menjadi perantara seseorang mendapatkan ilmu baru yang boleh jadi sangat dibutuhkan, tentu akan sependapat bahwa menjadi Fasilitator (selanjutnya ditulis: Fasil) adalah pilihan yang akan mengantar ke tujuan tersebut. Hasilnya? Kembali lagi bahwa nobody is perfect, right? Semuanya membutuhkan saling support antara yang difasilitasi dan yang memfasilitasi. Jika berjalan sendiri tentu aka nada sesuatu yang missing di situ.

“Mbak, saya harus bagaimana ketika mendapati pasangan saya tak mampu seirama dengan saya?”

Can anyone answer that? How about if that is asked to the facilitator? What should she say? Any idea? Nah, pertanyaan seperti di atas inilah yang terkadang tidak membutuhkan jawaban yang tertulis di buku bagi seorang Fasil. Perlu waktu untuk melakukan diskusi yang lebih intens untuk mendapatkan kepastian argumen yang akan keluar dari jari-jari atau bibir Fasil. Sebab, kondisi di atas bukan persoalan 1 + 1 = 2. Melainkan 1 + 1 = Kompleksitas Reaksi yang terjadi setelah melakukan satu saran lalu lanjut ke saran berikutnya.

Wow, semakin rumit saja ya. That’s why someone who dedicated herself to be a facilitator, it means that they have to face several situations although it is from one case.

Jadi, menjadi Fasil bukan sekadar memberikan materi, review, diskusi berikan penghargaan kemudian melihat peserta yang difasilitasi lulus dan melenggang cantik di panggung wisuda. Melainkan bagaimana seorang Fasil masih tetap bisa berdiri tegak dan kokoh ketika membersamai peserta yang haus ilmu sembari menjalani kehidupannya sebagai istri, ibu bahkan wanita dewasa di tengah lingkungan keluarganya.

Apakah saya sudah mampu seperti itu? Jawabannya, saya masih terus berproses untuk menjadi lebih dan lebih baik lagi. So, are you ready to be a facilitator?

0 Shares:
3 comments
Leave a Reply to Emiria Letfiani Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

You May Also Like