Ketika Anak Umur 9 Tahun Tanya Soal PEMILU

anak 9 tahun tanya pemilu

Anak tanya soal PEMILU tuh rasanya pertanyaan sulit dari Matematika. Mengapa? Karena saya bukan orangtua yang suka dengan politik. Meski setiap lini kehidupan pasti ada politiknya. Misalnya nih harga beras naik, jalanan rusak, sarana kesehatan terbatas dan masih banyak lainnya.

Namun, saya bukan orang yang vokal sehingga bicara dengan sok tahu. Meski saya tahu ilmunya pun saya lebih suka menghindari perdebatan. Apalagi kalau debat kusir yang solusi tidak pernah tercapai. Banyak hal yang harus saya pikirkan sebagai orangtua daripada mengurusi pemerintah. Itu saya ya. Tidak usah marah jika tak setuju.

Nah, ketika anak tanya soal PEMILU tuh rasanya tidak mau menjelaskan karena takut saya keliru. Meski PEMILU ya kepanjangannya Pemilihan Umum. Anak 9 tahun sudah tahu itu. Apalagi sudah kelas 3 SD. Namun, karakter anak saya ketika bertanya sebaiknya memang dijawab daripada dia mencari orang lain untuk ditanya.

Yaa, hitung-hitung tetap membentuk karakter orangtua sebagai orang terpercaya sehingga tidak mudah percaya orang lain. Sama halnya ketika anak sudah bertanya soal haid setahun lalu padahal masih kelas 2 SD.

PEMILU itu Apa, Bun? 

Pertanyaan paling pertama yang muncul. Apalagi mendengar saya dan ayahnya diskusi soal pasangan calon. Akhirnya dia tidak menahan diri untuk ikut bertanya. Awalnya saya serahkan ke ayahnya, tapi sejak akhir tahun hingga sekarang selalu sibuk bahkan lembur nyaris setiap hari.

Jadilah kujawab sesuai yang saya pahami.

Pemilihan Umum atau PEMILU itu seluruh Indonesia harus memilih Presiden dan Wakil Presiden baru. Soalnya masa jabatannya cuma 5 tahun jadi setiap 5 tahun pasti ada PEMILU.

Mengapa Aku Tidak Bisa Ikut Memilih Seperti Ayah Bunda? 

Hmm, pertanyaan ini sudah ada indikasi si anak mulai tidak senang karena tidak bakalan diajak keluar rumah. Ya, pikirnya kan PEMILU tuh bisa keluar ketemu orang banyak dan siapa tahu dapat kenalan anak seusianya untuk main.

Jadi jawabannya singkat saja, PEMILU itu ada batasan usianya yaitu 17 tahun. Usia 9 tahun belum boleh.

Kenapa Harus 17 Tahun? 

Ternyata disampaikan minimal usia membuatnya bertanya lagi, haha. Saya kira akan bertanya lainnya. Masih tidak terima kalau enggak bisa memilih.

17 tahun itu adalah aturan yang dibuat sehingga harus dipatuhi. Sama halnya dengan usia boleh punya ponsel. Selalu ada kesepakatan yang bisa dibuat dan kemudian dijalankan bersama.

Sedikit lebih mudah memahami petunjuk dan pola pikir sudah mulai bagus.

Lalu, Ayah Bunda Memilih Siapa? Kok Aku Tidak Boleh Tahu?

Hmm, prinsip saya dan suami meski kami pasutri, tetap urusan pilihan itu sesuai keyakinan masing-masing. Saya menghormati pilihannya dan tidak mau kepo juga pilih siapa, begitu juga sebaliknya, karena memegang salah satu asas PEMILU yaitu LUBER.

Langsung Umum BEbas dan Rahasia. Poin Rahasia inilah yang saya dan suami pegang. Biarlah saya tetap merahasiakannya karena toh bukan hal urgent dalam urusan rumah tangga mempermasalahkan perbedaan pilihan, jika misalnya demikian.

“Ayah Bunda ini main rahasiaan sama anaknya. Ih, sebel.”

Saya dan suami cuma bisa tertawa karena yaa memang tidak kami sampaikan pilihan kami.

“Nanti kalau kamu sudah bisa memilih, pegang asa Rahasia juga. Tidak usah diinfo kemana-mana. Cukup disimpan sendiri.”

Setidaknya itu kalimat saya ke anak sulung yang mulutnya sudah mulai makin manyun, haha.

***

Well, punya anak kritis memang tantangan tersendiri buat orangtua. Namun, tidak perlu sedih karena kritis tanda anak berpikir. Jangan diskak dengan kalimat yang menyakiti. Jelaskan saja dengan bahasa yang ringan supaya anak pun paham hidup di negaranya.

0 Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

You May Also Like