Membangun Peradaban dari Dalam Rumah – Rumah Tangga adalah sebuah bangunan abstrak namun sangat membutuhkan skill. Salah satu skill tersebut adalah kemampuan untuk bersabar dalam membangun serta mempertahankannya sesuai apa yang sudah diatur di dalam Al Qur’an. Hanya saja seringkali ada kerikil yang membuat rumah tangga membutuhkan usaha yang lebih keras dalam memaksimalkan skill tersebut.
Saya masih ingat 5 (lima) tahun yang lalu ditakdirkan Allah untuk memulai membangun sebuah rumah tangga dengan lelaki yang sama sekali asing. Membayangkan akan bertemu dengan sosok yang sangat berbeda dengan darah keturunan, tentunya memiliki cerita yang sulit untuk dilupakan. Apalagi sekarang kami masih bersama dan seterusnya akan bersama hingga takdirNya pula yang memisahkan.
Tentang Suamiku, Mas Adi
Untuk Suamiku…
Perlahan tetapi pasti, kehidupan rumah tangga kita berangsur membaik. Saya bahkan masih ingat betapa gigihnya perjuanganmu menjadikanku pasangan hidup. Sejak saat itu, kehidupanku berubah. Cara berpikirku tentang hidup dan dunia pun berubah.
Saya yang tadinya workaholic harus mendekam dalam rutinitas sebagai istri, pendampingmu menjalankan biduk rumah tangga yang senantiasa berharap keberkahan. Betapa sulitnya dulu memahami pilihan itu, namun bukan berarti aku tidak setuju. Justru semakin kesini saya memahami bahwa kodratku memang harusnya seperti ini.
Saya pun masih ingat betapa senangnya dirimu memotivasi meskipun terkadang begitu tegas dan keras terasa di hati. Hmm… akunya saja yang terlalu rapuh memang. Bahkan sampai sekarang masih sering muncul kerapuhan itu.
Suamiku…
Maaf jika selama menjelang 5 tahun ini, masih ada sikap dan sifatku yang kurang berkenan. Bahkan mungkin tersadari tetapi proses berubah menjadi lebih baiknya sangat lama seperti kura-kura berjalan. Semoga selalu sabar…
Begitupun saya yang akan selalu belajar diam meski dirimu emosi dan semisalnya. Karena saya tahu, aka nada waktu yang baik untuk mengerti mengapa itu bisa terjadi. Soal ada resah dan sakit yang terasa di hati, semoga tidak tersimpan dan menjadi penyakit. Suatu saat pasti juga akan luntur seiring dengan berjalannya waktu dan pengertian.
Terima kasih sudah mau mengajakku bersama-sama membangun rumah tangga yang saya akui tidak mudah. Godaan sana-sini seringkali membuatku goyah, tetapi dirimu selalu berusaha meluruskannya kembali meskipun butuh waktu.
Hormatku,
Istrimu…
***
Suami saya itu memang terkesan pendiam. Namun, sejatinya beliau pandai bercanda. Hanya saja memang butuh waktu yang tepat saja. Begitupun soal marah. Jika tidak ada yang keliru atau mungkin sikap saya yang di luar batas, tidak mungkin baginya untuk marah.
Alasan saya ingin dinikahi olehnya adalah kemampuannya memegang kata-kata dan memperjuangkan sesuatu yang menurutnya benar. Saya sendiri mengakui kegigihannya dalam mempersunting dengan rintangan berupa uang panai’. Sebuah tradisi yang pastinya di luar suku Jawa akan menganggapnya hal yang aneh. Tetapi, budaya tetaplah budaya. Saya saat itu tidak punya kekuatan untuk melawan selain menyanggupi. Dan Allah menolongnya, menolong kami.
Suami juga memiliki kemampuan desain. Hal itu terbukti pada produk-produk undangan pernikahan yang sudah kami buat berdasarkan pesanan. Usaha inilah yang membuat kami bisa makan di awal-awal pernikahan. Selain itu, kemampuannya dalam hal teknologi menjadikan saya bisa ikut belajar sehingga tidak gaptek menghadapi perkembangan dunia yang semakin digital.
By the way, respon suami saya membaca surat di atas adalah senyuman disertai nasehat untuk berusaha sekuat mungkin menjadi lebih baik dari hari ke hari.
***
Tentang Anakku, Salfa
Lahir di bulan Juli 2014 silam ternyata sampai sekarang selalu saja ada kejutan-kejutan yang melahirkan tawa dan tangis. Namun, sampai sekarang banyak hal positif yang ditunjukkan oleh Salfa yang masih berusia 2,5 tahun ini.
- Cepat Tanggap; tidak perlu sulit mengajarkan hal baru pada Salfa. Sekali diberi contoh, maka besok pasti sudah diikuti. That’s why saya sangat berjaga-jaga dalam mengatakan atau melakukan sesuatu.
- Cerdas Inter-Personal; kemampuannya melakukan interaksi dengan orang lain, sekalipun baru pertama ditemuinya terbilang bagus. Mudah beradaptasi dan melakukan komunikasi dengan orang lain (selain keluarga) memberikan kemudahan bagi saya ketika sedang mengikuti event atau kegiatan di luar rumah. Kelak di masa depan, mampu simpati dan empati dengan lingkungan sekitarnya.
- Pendengar yang Baik; selaras dengan kemampuan cepat tanggapnya, Salfa juga bisa menjadi pendengar yang baik. Hal ini terlihat ketika saya menceritakan cerita, baik itu dari buku ataupun yang dating langsung dari isi kepala saya.
- Lumayan Penurut; saya senang sekali jika Salfa melakukan apa yang dianjurkan kepadanya. Seperti: “Fa, mainnya di dalam saja.” Seketika dia pun bergegas mendekati sumber suara (saya) dengan bertanya dengan gayanya sendiri untuk menanyakan maksud dari kalimat yang ditujukan kepadanya tersebut.
- Rasa Ingn Tahu yang Tinggi; apapun, dimanapun dengan siapapun ketika menemukan hal baru, pasti akan bertanya sampai detail. Terkadang capek menanggapi setiap pertanyaannya, hehe.
Melihat semua perkembangan yang dialami Salfa, saya dan suami sedikit bangga dan berharap di masa depan tumbuh jadi anak shalihah dan cerdas. Tak harus selalu nomor satu karena kecerdasan tidak pernah bisa terukur hanya dengan reward angka.
***
Tentang Saya
Hmm… kalau ditanya tentang potensi diri saya pribadi, maka satu yang paling nyata adalah bisa cepat belajar sesuatu hal. Rasa penasaran yang tinggi terhadap sesuatu menjadikan saya seperti sekarang., meskipun hanya ibu rumah tangga dengan satu anak dan kebanyakan di rumah, saya tidak tinggal diam untuk mengetahui informasi teknologi. That’s why I am blogging. Yup, dengan melakukan aktivitas blogging saya bisa mendapat banyak pengetahuan (juga penghasilan berupa uang atau barang).
Kemampuan saya menulis menjadikan orang-orang yang mencari keahlian tersebut sampai sekarang masih berdatangan. Hal ini tentunya menjadi hal positif bagi saya yang tadinya workaholic. Saya masih bisa bekerja dari dalam rumah.
Soal latar belakang pendidikan saya yang Magister (S-2 Kimia) sementara hanya di rumah tentu ada manfaat tersendiri bagi keluarga, khususnya anak saya. Salah satu contoh kecil, saya berusaha untuk memberikan kata-kalimat dan pengetahuan pada Salfa sesuai dengan seharusnya. Pendidikan tinggi membentuk saya untuk memberikan yang terbaik bagi Salfa. Tidak mudah percaya info soal ini-itu tentang anak tanpa mencari tahu lebih dahulu sumber kebenarannya.
Sedangkan kepada suami, saya bisa membantunya dalam pekerjaan yang berhubungan denga bahasa asing plus sumber daya penghasil tulisan atau konten menarik untuk blog/web. Ya, kami berdua setiap hari tersentuh dunia digital sehingga satu sama lain saling support. Dan di sini tantangan kami dalam mendidik Salfa untu mengenal dunia digital (gadget) sesuai dengan usianya.
Satu lagi, saya sangat perasa. Kelemahan dengan sifat perasa itu membuat saya mudah baper. Namun, sisi baiknya saya peka dengan lingkungan dan orang lain. Sehingga bisa menjaga diri dari kata-kata yang menyinggung perasaan orang lain.
Tentang Lingkungan Sekitar
Alhamdulillah sampai detik ini tidak pernah mengalami bentrok dengan tetangga atau ibu kontrakan (masih ngontrak nih… doakan segera bisa dapat rumah). Hanya saja yang namanya hubungan dengan sesame manusia pasti ada saja kerikil. Kemampuan diam dan lebih mencoba mengalah (bukan kalah) untuk menenangkan situasi menjadi pilihan yang sering saya ambil. Saya paling tidak suka berdebat masalah sepele.
Soal kehidupan kami yang saat ini, sepertinya saya ditakdirkan Allah untuk banyak belajar sabar dan bersyukur. Hidup di lingkungan yang jauh dari keluarga (baik dari saya maupun suami), kondisi kontrakan yang kecil dan anak seusia Salfa yang rawan untuk diajak berinteraksi, membuat kami harus berjuang. Ya, suatu saat kami akan berada di lingkungan yang lebih baik dari sini dan tentunya lebih Islami. Karena sebuah peradaban itu lahir dari bagaimana pola didik dari rumah.
2 comments
Aih mba, postingannya inspiratif bgt…
Ini bagian dr kelas ibu profesional jg?
Saya jadi kepo, Mba. Suaminya bule, kah?
salam