“Bunda, pekan depan kan libur sekolah. Boleh ya aku nginep di rumah bestie-ku?” Bagai disambar petir rasanya karena selama ini belum pernah dan tiba-tiba anak sulung ijin begini.
“Hmm, kok harus menginap? Ajak main ke rumah kan bisa?!” Berusaha tenang dan tidak ngegas.
“Ya, cuma buat senang-senang aja. Katanya mamanya ngajak yang sahabat dekat dengan anaknya.”
“Coba bunda diskusikan dengan ayah dulu ya.”
“Kalau ayah sih bilangnya tidak usah. Bunda aja ya yang bilang ayah.” Anak mulai memelas. Padahal saya sangat senang ayahnya sudah memahami apa yang di pikiran ketika anak berada di kondisi permintaan yang aneh-aneh, haha.
“Hmm… tuh kan sebenarnya ayah sudah jawab. Harusnya tidak perlu bunda kasih tahu lagi.”
***
Keluarga saya memang bukan orang yang mudah memberikan ijin ketika akan menginap di rumah teman yang notabene orang lain, tidak ada hubungan darah. Sejak kecil mama dan bapak sudah didik saya seperti itu. Alasannya paling saya ingat adalah merepotkan tuan rumah meski tampak di luarnya mereka senyum. Kita tak pernah tahu isi hati orang makanya sudah pasti merepotkan karena:
- Harus sedia tempat tidur dan kebutuhan tidur lainnya
- Harus menambah porsi makan dari yang biasanya
- Harus beberes rumah agar tidak tampil apa adanya demi dianggap rumah selalu rapi (jaga image)
- Hraus memastikan keamanan dan kenyamanan yang menginap karena menjadi tanggung jawabnya
Waktu kecil saya tidak berpikir sampai sejauh itu. Saya cuma marah kalau bapak dan mama tidak memberikan izin. Namun anehnya, bapak dan mama tidak apa-apa jika teman saya yang menginap di rumah, bukan sebaliknya. Alasan bapak waktu itu, “Rezeki temanmu bisa jadi dari rumah ini, makanya tidak apa-apa jika mau menginap.”
Kondisi itu saya masih dapati ketika duduk di bangku S1. Jarak rumah saya dari kampus sangat jauh. Namun, teman-teman saya penasaran sehingga mau ikut perjalanan meski akhirnya menginap. Mereka baru sadar betapa perjuangan saya waktu kuliah itu sangat tinggi semangatnya.
Nah, itu cerita saya. Kalau sekarang anak sulung saya meminta ijin menginap di rumah temannya meski cuma kisaran 1Km, kami sepakat tidak memberikan izin. Lebih kurangnya sama dengan alasan waktu saya kecil dulu. Makanya suami pun setuju dan memang dia juga saat kecil tidak diberikan izin menginap di rumah teman meski dia laki-laki.
Jadi, saat anak meminta ijin menginap maka saya melakukan ini ke anak:
Menjelaskan dengan Bahasa Sederhana Alasan-Alasan yang Sudah Saya Sebutkan Sebelumnya
Pelan-pelan menjelaskannya sambil memberikan anak kesempatan berpikir. Jika kemudian tidak diterima, anak tetap diberikan waktu untuk menelaah semua yang sudah disampaikan kepadanya. Anak marah atau menangis, biarkan saja. Biarkan anak mengeluarkan emosi kecewa dan sejenisnya. Sebab anak memang perlu tahu itu. Tidak apa-apa. Jangan khawatir.
Berikan Kesempatan Teman si Anak Bermain ke Rumah
Ini bisa mengobati kekecewaannya. Meski memang tidak sepenuhnya. Namun, tetap berikan informasi tentang aturan bertamu atau bermain di rumah. Jangan sampai kebablasan juga. Pastinya yang repot kita juga ayah ibunya, hehe.
***
Well, memang value setiap keluarga berbeda. Bahkan satu sama lain pun tidak benar-benar saling mengenal sebelum bersama beberapa waktu. Makanya tidak mudah memberikan ijin ke anak ketika ingin menginap di rumah teman. Terlalu kompleks kekhawatiran yang ada, hehe.