Sikap Orang Tua Ketika Anak Bernada Suara Lebih Tinggi

Sikap Orang Tua Ketika Anak Bernada Suara Lebih Tinggi

Sakit rasanya hati ini mendengar anak ketika diajak bicara suaranya marah dan nadanya setengah teriak. Padahal cuma ditanya sederhana saja tetapi jawabannya bisa sampai sebegitunya. Rasanya tuh seperti disayat sembilu.

“Ah, bunda mah lebay!” 

Tentu tidak. Memang dalam aturan setiap keluarga itu harus ada supaya semua anggota keluarga saling menghargai satu sama lain. Ayah menghargai istri dan anaknya. Ibu menghargai suami dan anaknya. Anak-anak pun harus menghargai ayah ibunya.

Caranya bisa berbeda-beda, tergantung dengan kesepakatan yang sudah dibuat atau bahkan terbentuk secara tidak langsung karena kebiasaan dan contoh yang sudah dilakukan.

Nah, beberapa hari lalu anak sulung saya mendadak suaranya tinggi ketika ditanya soal kamarnya yang berantakan. Saya coba mengingat nada suara saya biasa. Namun, si anak langsung ngomong dengan nada tinggi plus ngegass. Saya jadi kaget dong dan otomatis terpancing buat marah. Jika saja anak bungsu saya tidak menangis, pasti langsung saya marah saat itu ke anak sulung.

Saat mendiamkan anak bungsu, saya jadi bertanya-tanya ada apa dengan si anak sulung ini. Kok bisa suaranya semenggelegar itu dan seolah tidak suka ditanya. Saya pun berdialog dengan diri saya sendiri. Kira-kira apa yang telah saya lakukan sebelumnya sehingga bisa seperti itu si sulung.

Setelah berdialog dengan diri saya sendiri, si anak sulung saya panggil dan melakukan beberapa hal berikut:

Mencoba Bertanya ke Anak tentang Boleh Tidaknya Bersikap Seperti Itu 

Saya pun bertanya dan menanti jawaban anak. Ternyata anak masih saja diam tetapi matanya sudah berkaca-kaca. Sebenarnya saya sudah tahu kalau si anak ini yakin kalau perilakunya keliru tetapi masih menahan egonya untuk mengaku.

Jika tak ada jawaban, maka saya lanjutkan dengan…

Memberikan Informasi Bahwa Berkata Kasar, Bernada Tinggi bahkan Mengucapkan Kata “Ah” di Depan Orang Tua, Itu Tidak Boleh dan Sudah Ada di Dalam Quran 

Nah, ini saya sampaikan sambil mengambil Quran juga jadi sekalian si anak membacanya dengan saksama. Hal ini untuk membuat anak yakin bahwa orang tuanya bicara itu bukan karena berdasarkan perasaan tetapi memang ada landasan hukumnya.

Di sini, si anak mulai menangis dan suara tangisannya makin kencang. Di situlah saya coba memeluk dan menyampaikan bahwa sebagai bundanya memang kecewa dengan sikapnya yang bernada tinggi plus ngegass itu. Namun, bukan berarti bahwa tidak dimaafkan hanya saja saya tetap menyampaikan ke anak bahwa kesalahan itu tetap membekas karena jujur saya kaget juga.

Makanya sebisa mungkin selanjutnya si anak tidak melakukan.

Meski bukan saat itu juga, saya tetap menunggu. Ternyata butuh sehari si anak memikirkan perilakunya yang keliru. Untuk itu, saya tetap menghargai karena memang menyadari kesalahan itu butuh waktu merenung. Alhamdulillah si anak sudah minta maaf dan bercerita bahwa kondisinya demikian karena lelah membereskan kamar yang bolak-balik dikacaukan adiknya.

***

Well, sebelum menyalahkan anak-anak, coba kembali melihat ke diri sendiri sebagai orang tua. Apakah sudah benar dalam menyampaikan tujuan dan maksud ke anak atau belum? Apakah dalam memberi contoh juga juga dengan nada tinggi atau tidak? Soalnya semua akan kembali kepada yang mencontohkan juga…

0 Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

You May Also Like