“Mbak, kamu kenapa? Kok cemberut gitu?”
“Gapapa.”
“Bentar lagi mau lomba lho. Kalau memang gak mau ikut harusnya bilang dari awal. Kan sudah dikasih tahu harus jalani konsekuensi dari komitmen yang sudah dibuat.”
“Iya, iya. Ah, bunda ini.”
Bahkan sebelum-sebelumnya pun pernah seperti ini:
“Mbak, kok bajunya belum dipakai? Sudah mau mulai sesi fotonya.”
“Gak mau pakai ini. Males.”
“Nah, lho. Kan sudah pilih sendiri. Komitmen dong.”
***
Ah, kadang dada rasanya sesak banget kalau pas mau melakukan sesuatu tiba-tiba ada halangan karena anak sendiri yang tidak komitmen. Bahkan beberapa kali harus menahan amarah yang sudah di ubun-ubun hanya karena ingin semuanya berjalan lancar tanpa teriakan atau suara meninggi.
Ya, kalau sudah gemas tentu saya pasti teriak karena karakter saya dari kecil dibentuk seperti itu. Didikan mama ke saya demikian. Namun, bukan berarti saya harus turunkan ke anak. Makanya saya berjuang sekeras mungkin menahan emosi. Realitanya, seringkali harus menangis sendiri di dalam kamar mandi agar rasa kesal dan marah keluar. Ditahan bisa membuat kepala sakit. Bahkan seluruh tubuh merasakan ketidaknyamanan.
Makanya benar-benar ujian memiliki anak tiga dengan karakter emosi berbeda. Seringkali anak pertama yang memicu amarah karena sudah lebih banyak bicara dan memilih sesuai keinginannya. Tidak keliru anak demikian. Artinya mereka punya prinsip dan pegangan. Hanya saja, bagi saya komitmen itu juga penting untuk diajarkan ke anak supaya tidak semena-mena dengan orang sekitarnya.
Lalu, bagaimana sikap saya ketika mood si kakak tiba-tiba berubah haluan dan memicu emosi?
Tarik Nafas dari Hidung, Keluarkan Di Mulut
Ini hal pertama yang harus dilakukan. Setidaknya oksigen tetap masuk ke dalam otak sehingga meski emosi tetapi masih terkontrol dengan baik. Sebab, jika emosi tidak ada pengendalinya maka kasihan anak juga kena imbasnya dan menjadi trauma yang akan terpendam. Pasti saat berkeluarga juga, si anak akan demikian pada keturunannya. Huhu, ngeri.
Makanya selalu pastikan otak masih memiliki asupan oksigen dengan baik sehingga segala fungsi organ dalam tubuh masih bekerja dengan baik, tidak shock yang menggagalkan kinerja jantung misalnya.
Jika sudah, mulailah bicara dengan anak…
Ajak Anak Diskusi Pendek
Memang tidak mudah karena menguras energi dan emosi. Makanya sebisa mungkin tanya anak mengapa bad mood dan apa yang harus dia lakukan supaya bad mood-nya hilang.
Jika anak tidak memberikan jawaban, maka kembalikan ingatannya pada komitmen yang sudah dibuat. Masih tidak mempan? Ajak anak untuk memilih kembali pulang atau tetap lanjut sesuai komitmen. Anak menjawab tidak lanjut, maka jangan dipaksa. Takutnya memang ada masalah serius yang dialami.
Belum lagi, jika apa saja yang terjadi pada diri kita, maka yakinlah sudah diatur Allah. Kita cuma menjalani skenarioNya, bukan? Cuma DIA yang berhak memutuskan episode berikutnya.
Berikan Makanan atau Minuman Kesukaan
“Yuk, kita makan es krim dulu. Kayaknya butuh yang dingin-dingin.”
Biasanya anak yang bad mood mau minta es krim tetapi takut. Mungkin juga memang lagi bete sama sesuatu hal tetapi bisa kembali baik jika diajak minum es krim. Nah, cara ini bisa dipakai. Kalau pun kurang berhasil, maka bersabarlah dan ajak anak pulang lalu berikan waktu ke anak untuk release semua rasa bad mood yang dialami.
***
Well, memang perjuangan jika punya anak yang mood-nya tiba-tiba tidak baik di saat yang harusnya tidak demikian. Namun, perjalanan menjadi orang tua tanpa melewati masa-masa ini memang jadi kisah suka duka tersendiri.