“Hebat ‘kan aku, Ayah. Bisa juara lomba di sekolah.”
Kalimat si adik terdengar oleh si kakak sehingga membuat adu argumen. Si kakak tidak terima karena di sekolah tidak mendapatkan juara apa-apa. Sementara di sekolah si adik, mendapatkan juara untuk lomba tertentu.
Alhasil, si kakak akhirnya mengajukan protes kalau hal tersebut tidak perlu dibicarakan. Si adik protes juga kalau hal itu harus dibicarakan karena ingin sang ayah memberikan apresiasi. Saya sebagai bunda yang mendengarnya dari dalam kamar pun, berusaha tetap tenang di awal.
Namun, makin lama pembicaraan soal menang lomba makin membuat si kakak jadi bernada tidak senang. Kalimat yang seharusnya tidak baik diucapkan ke adiknya seperti
“Gitu aja heboh. Biasa aja kali.”
Pun terlontar sehingga saya dan si ayah merasa si kakak sudah keterlaluan karena membuat adiknya jadi sedih. Si adik pun tidak terima sehingga menangis. Si kakak didorong agar menjauh dari ayahnya. Namun si kakak malah makin menjadi. Akhirnya nangis juga ketika si ayah mulai menasihati dengan tegas kalau sikapnya bukan sesuatu yang baik dalam menanggapi kebahagiaan si adik.
Lalu, yang saya lakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah langsung keluar kamar dan:
Ajak si Kakak Menepi ke Kamarnya
Kalau si kakak langsung ngambek biasanya akan ke kamarnya sendiri. Namun, jika tak kunjung beranjak dan masih beradu mulut dengan adiknya, saya yang mengajaknya ke kamar. Terpisah sejenak dengan adiknya. Lalu, saya tanya baik-baik alasannya bersikap demikian.
Jika si kakak cerita, maka saya duduk mendengarkan tanpa menyela. Biarkan si kakak sampaikan semua yang dirasakan. Lalu, saya pun mengajaknya berdiskusi dengan bertanya:
- Mengapa tidak suka lihat adik bahagia?
- Mengapa kalimat seperti itu bisa keluar, mencontoh dari mana?
Validasi perasaan sedihnya tetapi tidak membenarkan sikapnya. Jadi, tetap diajak sejenak menepi agar argumen si kakak bisa didengar dengan jelas.
Ajak si Adik Sementara Diam Dulu
“Kok disuruh diam? Kan si adik cuma menggambarkan ekspresi bahagia?”
Saya sempat mendapatkan kalimat tersebut. Lalu akhirnya saya bilang:
“Tidak salah memang tetapi bukan berarti si adik tidak bisa membahasnya lagi. Namun, saat si kakak demikian bisa berhenti dulu. Si adik juga harus belajar memahami perasaan kakaknya yang sedih karena tidak menang.”
Ketika si adik bisa berempati, pun kelak bisa belajar cara menyampaikan dan mengungkapkan perasaannya dengan lebih baik lagi agar tidak ada yang merasa disakiti. Meski memang menang kalah adalah sesuatu yang seringkali membuat orang akan bermain perasaan.
Kakak dan Adik Diajak Saling Meminta Maaf
Momen ini sangat penting. Meski ada saja yang merasa kalau harusnya si adik tidak perlu meminta maaf karena tidak salah menceritakan kebahagiaan akan kemenangan lomba.
Namun, sebagai orang tua yang tahu bagaimana anak-anak kami tumbuh dengan mayoritas perasaan yang sangat mudah tersentuh, maka saling meminta maaf menjadi hal penting.
Kami mengajak anak-anak untuk tidak alergi dengan maaf, sebagaimana dengan ucapan terima kasih dan permisi. Sebab, kesopanan bisa terbentuk dari sini. Minta maaf meski tidak salah mendidik anak untuk makin peka dengan sekeliling. Minta maaf saat anak salah membuat mereka membuat mereka berjiwa besar sehingga kelak ketika bersalah lagi, ucapan maaf itu tidak berat diucapkan.
***
Well, punya anak satu memang akan jauh dari masalah ini. Punya anak tiga, akan jadi tantangan tersendiri. Namun, orang tua harus percaya bahwa semuanya bisa diselesaikan dengan solusi terbaik buat kedua anak, si kakak dan si adik.