“Ayah, aku mau lapor. Bunda tadi bohong sama aku.”
“Bohong soal apa?”
“Aku ‘kan tadi tanya, masih ada jajan atau tidak? Trus, bunda jawabnya sudah habis. Tapi tadi aku buka lemari di dapur, jajannya masih ada lho. Kok bunda bohongin aku sih?”
“Hmm, mungkin bunda lupa?!”
“Mana mungkin? Bunda ‘kan tiap hari di dapur ya pasti tahulah. Bunda ‘kan juga teliti mengecek barang-barang dapur yang habis jadi pasti tahu di lemari itu masih ada jajan atau tidak.”
“Coba tanya bunda kenapa bunda bisa bohong seperti itu.”
“Ayah saja. Aku diajarin gak boleh bohong tapi kok bunda yang bohong.”
Lebih kurang seperti itu percakapan si kakak dan ayahnya. Memang anak pertama ini kritisnya luar biasa. Jika ada yang tak sesuai pasti akan bertanya dan biasanya langsung menyalahkan karena dianggap memang tidak mengikuti aturan yang sudah berlaku sebelumnya.
Lalu ayahnya pun memanggil saya untuk menjelaskan kebohongan tersebut agar si kakak menjadi lebih paham dengan kejadian sebenarnya. Tahu sendiri ‘kan anak kelas 4 SD biasanya memang mengucapkan apa yang dilihat matanya. Mengolah kejadian semua semata dengan apa yang dilihatnya.
Karena sudah jadi “tersangka” akhirnya saya pun melakukan hal berikut:
Minta Maaf dengan Tulus
Jadi orang tua memang perjalanan belajar terus-menerus. Tidak ada pemberhentian menjadi orang tua sampai jasad dimasukkan ke lubang kubur. Nah, ketika salah maka harus minta maaf sekalipun dengan anak yang secara kasat mata hanyalah anak kecil.
Namun, perlu diperhatikan bahwa tubuhnya yang kecil akan berkembang menjadi besar. Kebiasaan bohong pun akan demikian. Lama-lama kecil maka kemudian akan jadi kebohongan besar. Tentu hal tersebut tidak ingin kita melihatnya berada dalam diri anak, bukan?
Minta maaf tidak akan mengubah orang tua jadi anak begitu juga sebaliknya. Justru wibawa sebagai orang tua akan makin baik di mata anak karena berani mengakui kesalahan. Jadi, minta maaf dan peluk anak dengan ekspresi yang benar-benar menyesal telah berbohong.
Jelaskan Maksud Kebohongan Itu
Meski tidak dibenarkan, alasan bohong itu harus dijelaskan ke anak.
“Maaf ya, Nak. Tadi bunda bohong itu karena takut kamu mau dan harus menghabiskannya lagi. Takut tidak mau makan nasi lagi kalau makan jajanan itu. Makanya entah mengapa tiba-tiba saja bunda bohong supaya kamu tidak makan.”
Namun, kalimat tersebut disambung lagi,
“Mama janji tidak bohong lagi soal jajanan yang masih ada tapi dibilang habis. Tapi, kamu juga janji tidak akan ngambek kalau bunda bilang jajan masih ada tetapi belum boleh dimakan sebelum makan nasi.”
Jika anak merasa sebal dan marah, wajar. Biarkan emosi itu ada dan dikeluarkan. Beda anak maka cara healing emosi pun akan beda juga. Pastinya, si anak sudah paham bunda bohong disebabkan apa. Untuk itu, si anak juga bisa diajak kerja sama sehingga tidak menjadikan orang lain terpaksa berbohong karena sikap kita juga.
Tidak Mengulangi Lagi
Kalau saya sudah kedapatan bohon di depan anak, maka malu menjadi hal paling terasa. Makanya akan jera mengulanginya kembali. Ketika ada yang diinginkan anak tetapi belum bisa memberikannya, maka disampaikan secara jelas dan jujur agar anak memahami.
Anak tidak terima? Maka harus mengupayakan lagi agar anak tidak tantrum. Ya, siklusnya akan berulang terus.
***
Well, berusaha untuk terus berkata yang seharusnya tanpa harus berbohong. Sebab, anak tentu melihat dan menjadikan orang tuanya sebagai contoh teladan. Jika orang tua tidak menunjukkan itu, jangan salahkan anak ketika berada dalam kondisi tidak akan manut setiap yang dikatakan orang tuanya. Meski memang memberikan argumen sendiri itu baik, tetapi berbohong akan menjadikan anak bukan lagi kritis tetapi kehilangan panutan.